GANGGUAN KEPRIBADIAN
Kita semua memiliki gaya berperilaku dan cara tertentu dalam berhubungan
dengan orang lain, beberapa dari kita adalah tipe teratur, yang lain
ceroboh. Beberapa dari kita memilih mengerjakan tugas sendiri, yang lain
lebih sosial. Beberapa dari kita tipe pengikut, yang lain memimpin.
Beberapa dari kita terlihat kebal menerima penolakan dari orang lain,
sementara yang lain menghindari inisiatif sosial karena takut
dikecewakan. Saat pola perilaku menjadi begitu tidak fleksibel atau
maladaptive sehingga dapat menyebabkan distress personal yang signifikan
atau mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan, maka pola perilaku
tersebut dapat didiagnosis sebagai gangguan kepribadian.
Gangguan kepribadian adalah kelompok gangguan yang sangat heterogen. Gangguan tersebut diberi kode pada aksis ii dalam dsm dan dianggap sebagai pola perilaku dan pengalaman internal yang bertahan lama, pervasif, dan tidak fleksibel yang menyimpang dari ekspektasi budaya orang yang bersangkutan dan dapat menggangu dalam fungsi sosial dan pekerjaan. Beberapa diantaranya dapat menyebabkan distress emosional. Individu dikatakan mengalami gangguan kepribadian apabila ciri kepribadiannya menampakkan pola perilaku maladaptif dan telah berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Pola tersebut muncul pada setiap situasi serta menggangu fungsi kehidupannya sehari-hari.
Gangguan kepribadian adalah kelompok gangguan yang sangat heterogen. Gangguan tersebut diberi kode pada aksis ii dalam dsm dan dianggap sebagai pola perilaku dan pengalaman internal yang bertahan lama, pervasif, dan tidak fleksibel yang menyimpang dari ekspektasi budaya orang yang bersangkutan dan dapat menggangu dalam fungsi sosial dan pekerjaan. Beberapa diantaranya dapat menyebabkan distress emosional. Individu dikatakan mengalami gangguan kepribadian apabila ciri kepribadiannya menampakkan pola perilaku maladaptif dan telah berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Pola tersebut muncul pada setiap situasi serta menggangu fungsi kehidupannya sehari-hari.
GANGGUAN KEPRIBADIAN DIGOLONGKAN MENJADI TIGA KELOMPOK DALAM DSM-IV-TR, YAITU:
1. KELOMPOK A (ODD/ECCENTRIC CLUSTER)
Gangguan kepribadian yang ditandai perilaku aneh dan eksentrik, terdiri
dari gangguan kepribadian paranoid, schizoid, dan schizotypal. Individu
dalam kelompok ini sering memiliki kesulitan dalam berhubungan dengan
orang lain, atau mereka menunjukkan sedikit atau tidak adanya minat
dalam mengembangkan hubungan sosial.
Etiologi kelompok A
Berbagai studi tentang keluarga memberikan beberapa bukti bahwa gangguan
kepribadian kelompok a berhubungan dengan skizofrenia. Pada gangguan
skizotipal, pasien mengalami kelemahan kognitif dan kurangnya fungsi
neuropsikologis yang sama dengan terjadinya skizofrenia. Selain itu,
pasien dengan gangguan kepribadian skizotipal memiliki rongga otak yang
lebih besar dan lebih sedikit bagian abu-abu di lobus temporalis.
2. KELOMPOK B (DRAMATIC/ERRATIC CLUSTER)
Kelompok gangguan ini mencakup terdiri dari gangguan kepribadian
antisosial, borderline, histrionic, dan narcissistic. Individu dalam
kelompok ini menampilkan perilaku yang dramatik atau berlebih-lebihan,
tidak dapat diramalkan, self centered, emosional dan eratik (tidak
menentu atau aneh). Orang-orang dalam kelompok ini memiliki ksulitan
dalam membntuk dan membina hubungan.
3. KELOMPOK C (ANXIOUS/FEARFUL CLUSTER)
Kelompok gangguan ini terdiri dari gangguan kepribadian avoidant,
dependent, dan obsessive-compulsive. Meskipun ciri danri masing-masing
gangguan ini berbeda, namun gangguan ini sama-sama memiliki komponen
berupa rasa cemas dan ketakutan.
Etiologi kelompok C
Tidak banyak data yang menjelaskan penyebab dari gangguan kepribadian
kelompok anxoius/fearful. Salah satu penyebab yang memungkinkan adalah
hubungan antara orang tua dan anak. Sebagai contoh, gangguan kepribadian
dependen disebabkan oleh pola asuh yang overprotektif dan
authoritarian, sehingga menghambat berkembangnya self-efficacy.
Di samping itu, gangguan kepribadian dependen juga dapat disebabkan oleh
masalah attachment. Pada masa kanak-kanak, anak mengembangkan
attachment terhadap orang dewasa dan menggunakan orang dewasa tersebut
sebagai dasar yang aman untuk mengeksplorasi dan mengejar tujuan lain.
Perpisahan dari orang dewasa dapat menimbulkan kemarahan dan distress.
Seiring dengan proses perkembangan, anak tersebut kemudian menjadi tidak
terlalu dependen pada figur attachment. Pada attachment yang tidak
normal, perilaku yang dapat dilihat pada individu yang mengalami
gangguan kepribadian dependen merefleksikan kegagalan dalam proses
perkembangan yang biasanya, yang muncul dari gangguan pada hubungan awal
antara orang tua dan anak yang disebabkan oleh kematian, pengabaian,
penolakan, atau pengasuhan yang overprotektif.
Individu yang mengalami gangguan ini menggunakan berbagai cara untuk
menjaga hubungan dengan orang tua atau orang lain, misalnya dengan
selalu menuruti mereka.
Sedangkan gangguan kepribadian avoidant kemungkinan merefleksikan pengaruh lingkungan, di mana anak diajarkan untuk takut pada orang dan situasi yang pada umumnya dianggap tidak berbahaya. Misalnya ayah atau ibu memiliki ketakutan yang sama, yang kemudian diturunkan pada anak melalui modeling. Kenyataan bahwa gangguan ini terjadi di keluarga, dapat mengindikasikan adanya peran faktor genetik.
Sedangkan gangguan kepribadian avoidant kemungkinan merefleksikan pengaruh lingkungan, di mana anak diajarkan untuk takut pada orang dan situasi yang pada umumnya dianggap tidak berbahaya. Misalnya ayah atau ibu memiliki ketakutan yang sama, yang kemudian diturunkan pada anak melalui modeling. Kenyataan bahwa gangguan ini terjadi di keluarga, dapat mengindikasikan adanya peran faktor genetik.
Freud berpendapat bahwa obsessive-compulsive personality traits
disebabkan oleh fiksasi pada tahap awal dari perkembangan psikoseksual.
Sedangkan teori psikodinamik kontemporer menjelaskan bahwa gangguan
kepribadian obsesif-kompulsif disebabkan oleh ketakutan akan hilangnya
kontrol yang diatasi dengan overkompensasi. Sebagai contoh, seorang pria
workaholic yang kompulsif kemungkinan takut bahwa hidupnya akan hancur
jika ia bersantai-santai dan bersenang-senang.
KELOMPOK A (ODD/ECCENTRIC CLUSTER)
1. PARANOID PERSONALITY DISORDER (GANGGUAN KEPRIBADIAN PARANOID)
Individu yang mengalami gangguan kepribadian paranoid biasanya ditandai
dengan adanya kecurigaan dan ketidakpercayaan yang kuat terhadap orang
lain. Mereka juga diliputi keraguan yang tidak beralasan terhadap
kesetiaan orang lain atau bahwa orang lain tersebut dapat dipercaya.
Orang-orang yang mengalami gangguan ini merasa dirinya diperlakukan
secara salah dan dieksploitasi oleh orang lain sehingga berperilaku
selalu waspada terhadap orang lain.
Mereka sering kali kasar dan mudah marah terhadap apa yang mereka anggap
sebagai penghinaan. Individu semacam ini enggan mempercayai orang lain
dan cenderung menyalahkan mereka serta menyimpan dendam meskipun bila ia
sendiri juga salah. Mereka sangat pencemburu dan tanpa alasan dapat
mempertanyakan kesetiaan pasangannya.
Individu dengan gangguan ini tidak mampu terlibat secara emosional dan
menjaga jarak dengan orang lain, mereka tidak hangat. Gangguan
kepribadian paranoid paling banyak terjadi pada kaum laki-laki
dibandingkan dengan perempuan. Gangguan ini banyak dialami bersamaan
dengan gangguan kepribadian schizotipal, borderline, dan avoidant.
Prevalensi pada gangguan ini adalah berkisar 2 persen dari populasi pada umumnya.
Gangguan paranoid memiliki perbedaan diagnosis dengan skizofrenia,
karena pada gangguan paranoid tidak muncul simtom halusinasi dan delusi.
Perbedaannya dengan gangguan borderline adalah gangguan paranoid lebih
sulit untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Sedangkan perbedaannya
dengan gangguan antisosial adalah paranoid tidak memiliki sejarah
antisosial. Perbedaannya dengan schizoid adalah gangguan ini tidak
memiliki ide-ide paranoid atau tidak memiliki kecurigaan.
KELOMPOK B (DRAMATIC/ERRATIC CLUSTER)
1. BORDERLINE PERSONALITY DISORDER (GANGGUAN KEPRIBADIAN AMBANG)
Disebut dengan kepribadian ambang (borderline) karena berada di
perbatasan antara gangguan neurotik dan skizofrenia. Ciri-ciri utama
gangguan ini adalah impulsivitas dan ketidakstabilan dalam hubungan
dengan orang lain dan memiliki mood yang selalu berubah-ubah. Contohnya,
sikap dan perasaan terhadap orang lain dapat berubah-ubah secara
signifikan dan aneh dalam kurun waktu yang singkat. Individu yang
mengalami gangguan borderline memiliki karakter argumentatif, mudah
tersinggung, sarkastik, cepat menyerang, dan secara keseluruhan sangat
sulit untuk hidup bersama mereka.
Perilaku mereka yang tidak dapat diprediksi dan impulsif, boros,
aktivitas seksual yang tidak pandang bulu, penyalahgunaan zat, dan makan
berlebihan, berpotensi merusak diri sendiri. Mereka tidak tahan berada
dalam kesendirian, memiliki rasa takut diabaikan, dan menuntut
perhatian. Mudah mengalami perasaan depresi dan perasaan hampa yang
kronis, mereka sering kali mencoba bunuh diri.
Gangguan kepribadian borderline bermula pada masa remaja atau dewasa
awal, dengan prevelensi sekitar 1 persen, dan lebih banyak terjadi pada
perempuan dibandingkan pada laki-laki.
Etilogi gangguan kepribadian borderline
Penyebab terjadinya gangguan kepribadian borderline antara lain dapat dijelaskan oleh kedua pandangan berikut:
Faktor biologis
Faktor-faktor biologis antara lain disebabkan oleh faktor genetis.
Gangguan kepribadian borderline dialami oleh lebih dari satu anggota
dalam satu keluarga. Beberapa data menunjukkan adanya kelemahan fungsi
lobus frontalis, yang sering diduga berperan dalam perilaku impulsif.
Individu dengan gangguan borderline mengalami peningkatan aktivasi
amigdala, suatu struktur dalam otak yang dianggap sangat penting dalam
pengaturan emosi.
Linehan’s diathesis-stress theory
Menurut teori ini, gangguan kepribadian borderline berkembang ketika
individu dengan diatesis biologis (kemungkinan genetis) di mana ia
mengalami kesulitan untuk mengontrol emosi, dibesarkan dalam lingkungan
keluarga yang salah (invalidating). Dalam teori ini, diatesis biologis
disebut sebagai emotional dysregulation. Sedangkan invalidating
experience adalah pengalaman di mana keinginan dan perasaan individu
diabaikan dan tidak dihormati; usaha individu untuk mengkomunikasikan
perasaannya tidak dipedulikan atau bahkan diberi hukuman. Salah satu
contoh ekstremnya adalah kekerasan pada anak, baik secara seksual maupun
nonseksual. Dengan kata lain, emotional dysregulation saling
berinteraksi dengan invalidate experience anak yang sedang berkembang.
Hal itulah yang kemudian memicu perkembangan kepribadian borderline.
Perspektif Psikososial Mengenai Borderline Personality Disorder
a) Psikodinamik
Individu dengan gangguan kepribadian borderline sering kali
mengembangkan mekanisme defense yang disebut splitting, yaitu
mendikotomikan objek menjadi semuanya baik atau semuanya buruk dan tidak
dapat mengintegrasikan aspek positif dan negatif orang lain atau diri
menjadi suatu keutuhan. Hal itu menimbulkan kesulitan yang ekstrem dalam
meregulasi emosi karena individu borderline melihat dunia, termasuk
dirinya sendiri, dalam dikotomi hitam-putih. Bagaimanapun juga, defense
ini melindungi ego yang lemah dari kecemasan yang tidak dapat
ditoleransi.
Teori ini merupakan teori dari psikoanalisa yang memfokuskan diri pada
bagaimana cara anak mengintroyeksikan nilai-nilai dan gambaran yang
berhubungan dengan orang-orang yang dianggap penting dalam hidupnya,
misalnya orang tua. Dengan kata lain, fokus dari teori ini adalah cara
anak mengidentifikasikan diri dengan orang lain di mana ia memiliki
emotional attachment yang kuat dengan orang tersebut. Orang-orang yang
diintroyeksikan tersebut menjadi bagian dari ego si anak pada masa
dewasa, tetapi dapat menimbulkan konflik dengan harapan, tujuan, dan
ideal-idealnya.
Teori ini beranggapan bahwa individu bereaksi terhadap dunia melalui
perspektif dari orang-orang penting dalam hidupnya pada masa lalu,
terutama orang tua atau caregiver. Terkadang perspektif tersebut
berlawanan harapan dan minat dari individu yang bersangkutan. Otto
kernberg, salah seorang tokoh dalam teori ini menyatakan bahwa
pengalaman yang tidak menyenangkan pada masa kanak-kanak, misalnya
mempunyai orang tua yang memberikan cinta dan perhatian secara tidak
konsisten (menghargai prestasi anak, tetapi tidak dapat memberikan
dukungan emosional dan kehangatan), dapat menyebabkan anak mengembangkan
insecure egos (bentuk umum dari gangguan kepribadian borderline).
Beberapa hasil penelitian juga mendukung teori ini. Individu yang
mengalami gangguan kepribadian borderline menyatakan kurangnya kasih
sayang dari ibu. Mereka memandang keluarga mereka tidak ekspresif secara
emosional, tidak memiliki kedekatan emosional, dan sering terjadi
konflik dalam keluarga. Selain itu, mereka biasanya juga mengalami
kekerasan seksual dan fisik serta sering mengalami perpisahan dengan
orang tua pada masa kanak-kanak.
Bagaimanapun juga, hasil-hasil penelitian tersebut masih belum dapat
menyatakan secara jelas apakah pengalaman-pengalaman itu memang hanya
dialami oleh mereka dengan gangguan kepribadian borderline saja. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa individu yang mengalami gangguan
kepribadian borderline mempunyai pengalaman masa kecil yang tidak
menyenangkan. Namun belum jelas apakah pengalaman tersebut bersifat
spesifik bagi gangguan ini.
b) Behavioral
Orang dengan gangguan borderline biasanya dibesarkan oleh pola asuh
maladaptive, ditinggalkan pengasuh, dan memiliki trauma abuse saat
kecil. Hal ini membuat mereka saat dewasa menjadi haus akan perhatian
dan kasih sayang, sangat sensitive,
c) Cognitive
Pada beberapa kasus, ditemukan pula cara berpikir orang paranoid, yaitu penuh kecurigaan terhadap orang lain.
d) Humanistic
Orang dengan gangguan borderline cenderung tidak yakin tentang identitas
pribadi mereka (nilai, tujuan, karir, dan bahkan orientasi seksual).
Ketidakstebilan dalam self-image atau identitas pribadi membuat mereka
dipenuhi perasaan kekosongan dan kebosanan yang terus-menerus.
e) Interpersonal
Orang dengan tipe borderline ide ketakutan akan ditinggalkan menjadikan
mereka pribadi yang melekat dan menuntut dalam hubungan sosial mereka,
namun kelekatan mereka sering kali malah menjauhkan orang-orang di
sekitarnya. Tanda-tanda penolakan membuat mereka menjadi sangat marah,
yang membuat mereka menjadi lebih jauh lagi. Akibatnya, perasaan mereka
terhadap lingkingan menjadi berubah-ubah. Mereka cendreung mamandang
orang lain sebagai semua-tentangnya-baik dan semua-tentangnya-buruk,
karena berubah-ubah dengan cepat dan ekstrem.
2. HISTRIONIC PERSONALITY DISORDER (GANGGUAN KEPRIBADIAN HISTRIONIK)
Gangguan kepribadian histrionik sebelumnya dikenal disebut kepribadian
histerikal, ditegakkan bagi orang-orang yang selalu dramatis dan mencari
perhatian. Mereka sering kali menggunakan ciri-ciri penampilan fisik
yang dapat menarik perhatian orang kepada dirinya, misalnya pakaian yang
mencolok, tata rias, atau warna rambut. Mereka berpusat pada diri
sendiri, terlalu mempedulikan daya tarik fisik mereka, dan merasa tidak
nyaman bila tidak menjadi pusat perhatian. Mereka dapat sangat
provokatif dan tidak senonoh secara seksual tanpa mempedulikan
kepantasan serta mudah dipengaruhi orang lain.
Diagnosis ini memiliki prevelensi sekitar 2 persen dan lebih banyak
terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Gangguan kepribadian
histrionik lebih banyak terjadi pada mereka yang mengalami perpisahan
atau perceraian, dan hal ini diasosiasikan dengan depresi dan kesehatan
fisik yang buruk. Gangguan ini sering muncul bersamaan dengan gangguan
kepribadian borderline.
Etiologi gangguan kepribadian histrionik
Gangguan ini dijelaskan berdasarkan pendekatan psikoanalisa. Perilaku
emosional dan ketidaksenonohan secara seksual didorong oleh
ketidaksenonohan orang tua, terutama ayah terhadap anak perempuannya.
Kebutuhan untuk menjadi pusat perhatian dipandang sebagai cara untuk
mempertahankan diri dari perasaan yang sebenarnya yaitu self-esteem yang
rendah.
Perspektif Psikososial Mengenai Histrionic Personality Disorder
a) Psikodinamik
Para ahli psikodinamika melihat gangguan ini sebagai hasil dari
kebutuhan-kebutuhan akan ketergantungan yang sangat mendalam dan
merupakan represi-represi dri emosi, hambatan dari resolusi setiap tahap
oral atau oedipal. Pencarian atensi berasal dari kebutuhan untuk
mendapatkan persetujuan dari orang lain. Kedangkalan berpikir dan
kedangkalan keterlibatan emosi dengan orang lain mnggambarkan
orang-orang histerionik yang merepresi kebutuhn-kebutuhab dan
perasann-perasannnya sendiri.
b) Behavioral
Orang denga tipe histerionik biasanya berasal dari kelurga yang
memanjakan dan membiarkan sifat manjanya hingga dewasa (being daddy’s
"pretty little girl"). Hal ini manjadi suatu pembiasaan sehingga
terbentuk karakter yang menetap mengenai sifat manja dan selalu ingin
menjadi pusat perhatian. Selain itu, biasanya, dalam keluarga tabu untuk
mendidik atau mengenalkan. masalah sex. Selain itu, ada pndapat lain
yaitu ketika masa kanak mengalami hubungan dengan orang tua yang tidak
harmonis sehingga kehilangan rasa cinta. Lalu untuk mempertahankan
ketakutan akan kehilangan yang sangat, dia bereaksi secara dramatis.
c) Cognitive
Para ahli kognitif berpendapat bahwa asumsi dasar yang mengarahkan
orang-orang bertingkah laku histerionik adalah “aku tidak cukup dan
tidak mampu menangani hidup dengan caraku sendiri”. Meskipun asumsi ini
dipakai untuk orang-orang dengan gangguan lain, secara kgusus yang
mengalami depresi dan orang-orang histerionik merespon asumsi ini secara
lebih berbeda dibandingkan dengan gangguan lain. Secara khusus, orang
histerionik bekerja untuk mendapat perhatian dan dukungan dari orang
lain.
d) Humanistic
Orang dengan tipe ini memiliki self-esteem yang rendah, dan sedang
berjuang untuk member kesan pada orang lain dengan tujuan meningkatkan
self-worth mereka.
e) Interpersonal
Orang dengan tipe histerionik dapat berbuat apa saja agar mendapat
perhatian dari sekelilingnya. Walaupun begitu, ia tidak dapat menjalin
relasi mendalam dengan lingkungannya. Kadang mereka memperlihatkan
perlaku merayu secara sexual (dengan lawan jenis, bahkan pada ayah
sendiri), berkompetisi dan terlalu menuntut pada relasi dengan jenis
kelamin yang sama.
3. NARCISSISTIC PERSONALITY DISORDER (GANGGUAN KEPRIBADIAN NARSISTIK)
Individu dengan gangguan kepribadian narsistik memiliki pandangan
berlebihan mengenai keunikan dan kemampuan mereka. Mereka merasa bahwa
dirinya spesial dan berharap mendapatkan perlakuan yang khusus pula.
Oleh sebab itu, mereka sulit menerima kritik dari orang lain. Hubungan
interpersonal mereka terhambat karena kurangnya empati, perasaan iri,
dan arogansi, dan memanfaatkan/menghendaki orang lain melakukan sesuatu
yang istimewa untuk mereka tanpa perlu dibalas. Individu pada gangguan
ini sangat sensitif terhadap kritik dan takut akan kegagalan. Terkadang
mereka mencari sosok lain yang dapat mengidealkan karena mereka kecewa
terhadap diri sendiri, tetapi mereka biasanya tidak mengizinkan siapa
pun untuk benar-benar berhubungan dekat dengan mereka.
Hubungan personal mereka sedikit dan dangkal; ketika orang lain
menjatuhkan harapan mereka yang tidak realistis, mereka akan marah dan
menolak. Prevelensi gangguan ini kurang dari 1 persen.
Etiologi gangguan kepribadian narsistik
Penyebab gangguan kepribadian narsistik dapat dipandang dari segi
psikoanalisa. Orang yang mengalami gangguan ini dari luar tampak
memiliki perasaan yang luar biasa akan pentingnya dirinya. Namun
dipandang dari psikoanalisa, karakteristik tersbut merupakan topeng bagi
self-esteem yang rapuh.
Menurut heinz kohut, self muncul pada awal kehidupan sebagai struktur
bipolar dengan immature grandiosity pada satu sisi dan overidealisasi
yang bersifat dependen di sisi lain. Kegagalan mengembangkan self-esteem
yang sehat terjadi bila orang tua tidak merespons dengan baik
kompetensi yang ditunjukkan oleh anak-anaknya. Dengan demikian, anak
tidak bernilai bagi harga diri mereka sendiri, tetapi bernilai sebagai
alat untuk meningkatkan self-esteem orang tua.
Perspektif Psikososial Mengenai Narcissistic Personality Disorder
a) Psikodinamik
Sigmund Freud memandang narcisme sebagai fase yang dilalui semua anak
sebelum menyalurkan cinta mereka kepada diri mereka sendiri dan
orang-orang yang berarti (significant person). Anak-anak dapat
terfiksasi pada fase narsistik ini, bagaimanapun, jika mereka mengalami
bahwa orang-orang yang mengasuhnya tidak dapat dipercaya dan memutuskan
bahwa mereka hanya dapat bersandar pada diri sendiri, atau jika mereka
memiliki orang tua yang selalu menuruti mereka dan menanamkan pada
mereka suatu perasaan bangga atas kemampuan dan harga diri mereka.
b) Behavioral
Dari sudut pandang sosial learning, Millon menemukan bahwa asal dari
gaya narsistik adalah evaluasi berlebihan yang tidak realistic mengenai
nilai anak-anak oleh orang tua. Anak tidak mampu menggapai (live up)
pada evaluasi-evaluasi orang tuanya mengenai dirinya, tetapi dia secara
berkelanjutan bertindak seolah-olah dia merupakan orang yang superior.
Demikian pula, Beck dan Freeman berpendapat bahwa beberapa orang
narsistik membangun asumsi mengenai keberhargaan-diri (self worth)
mereka yang tidak realistic dalam hal-hal yang positif sebagai hasil
dari penurutan dan evaluasi yang berlebihan dari significant person saat
anak-anak. Orang-orang narsistik lainnya mengembangkan keyakinan bahwa
mereka merupakan unik dan luar biasa dalam bereaksi untuk menjadi
satu-satuny orang yang berbeda dari orang lain secara etnis, rasial, dan
status ekonomi, atau sebagai upaya bertahan menghadapi penolakan oleh
significant person dalam kehidupan mereka.
c) Cognitive
Orang narsistik cenderung terobsesi dan terpaku pada fantasi akan
keberhasilan dan kekuasan, cinta yang ideal, atau pengakuan akan
kecerdsan dan kecantikan. Seperti orang kepribadian hiterionik, mengejar
karir dimana mereka dapat menjadi pusat perhatian dan mendapat
pemujaan, seperti modeling, acting dan politik. Ambisi yang serakah
membuat mereka mendedikasikan diri untuk bekerja tanpa lelah. Mereka
terdorong untuk berhasil namun bukan untuk mandapatkan uang, melainkan
untuk mendapat pemujaan yang menyertai kesuksesan.
d) Humanistic
Secara aktual orang dengan tipe ini memiliki self-esteem yang rendah.
e) Interpersonal
Orang dengan gangguan ini tidak dapat menjalin relasi secara mendalam
karena adanya tuntutan yang dipaksakan pada orang lain, kurang memiliki
rasa empati, sering mengagung-agungkan diri, dan mengeksploitasi orang
lain sampai mereka puas..
4. ANTISOCIAL PERSONALITY DISORDER AND PSYCHOPATHY (GANGGUAN KEPRIBADIAN ANTISOSIAL DAN PSIKOPATI)
Orang dewasa yang mengalami gangguan antisosial menunjukkan perilaku
tidak bertanggung jawab dan antisosial dengan bekerja secara tidak
konsisten, melanggar hukum, mudah tersinggung, agresif secara fisik,
tidak mau membayar hutang, sembrono, ceroboh, dan sebagainya. Mereka
impulsif dan tidak mampu membuat rencana ke depan. Mereka sedikit atau
bahkan tidak merasa menyesal atas berbagai tindakan buruk yang mereka
lakukan. Gangguan ini lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan
perempuan dan lebih banyak terjadi di kalangan anak muda daripada dewasa
yang lebih tua. Gangguan ini lebih umum terjadi pada orang dengan
status sosioekonomi rendah.
Sementara itu, salah satu karakteristik psychopathy adalah kemiskinan
emosi, baik positif maupun negatif. Orang-orang psychopathy tidak
memiliki rasa malu, bahkan perasaan mereka yang tampak positif terhadap
orang lain hanyalah sebuah kepura-puraan. Penampilan psikopat menawan
dan memanipulasi orang lain untuk memperoleh keuntungan pribadi. Kadar
kecemasan yang rendah membuat psikopat tidak mungkin belajar dari
kesalahannya. Kurangnya emosi positif mendorong mereka berperilaku
secara tidak bertanggung jawab dan berperilaku kejam terhadap orang
lain.
Etiologi gangguan kepribadian antisosial dan psychopathy
Penyebab gangguan ini berkaitan dengan peran keluarga. Kurangnya afeksi
dan penolakan berat orang tua merupakan penyebab utama perilaku
psychopathy. Selain itu, juga disebabkan oleh tidak konsistennya orang
tua dalam mendisiplinkan anak dan dalam mengajarkan tanggung jawab
terhadap orang lain. Orang tua yang sering melakukan kekerasan fisik
terhadap anaknya dapat menyebabkan gangguan ini. Gangguan ini juga dapat
disebabkan oleh kehilangan orang tua. Di samping itu, ayah dari
penderita psikopat kemungkinan memiliki perilaku antisosial. Faktor
lingkungan di sekitar individu yang buruk juga dapat menyebabkan
gangguan ini.
Perspektif Psikososial Mengenai Psichopathy
a) Psikodinamik
Terjadi karena dorongan-dorongan bawah sadar terhadap pemuasan id
ditambah dengan rendahnya kontrolnya ego sehingga id lebih dominan dan
akhirnya dia melakukan segala cara untuk memuaskan id nya seperti
membunuh, dan menyakiti orang lain, atau menipu. Disamping itu, orang
yang menderita gangguan tersebut mempunyai super ego yang tumpul
sehingga ia tidak merasa bersalah atas apa yang telah di lakukannya
meskipun perilakunya sudah merugikan banyak orang.
b) Behavioral
Teori behavioristik memandang bahwa gangguan kepribadian psikopat di
sebabkan oleh proses belajar yang salah selama rentang kehidupanya. Ia
tidak memahami perilaku mana yang benar dan perilaku mana yang salah.
Anak yang tidak pernah mendapatkan reward atas hasil baik yang ia
lakukan justru ia selalu mendapatkan perilaku dan pengalaman yang tidak
menyenangkan saat melakukan perbuatan yang baik maupun yang buruk. Maka
anak tersebut belajar bahwa, tidak ada yang namanya benar. Tetapi,
apapun yang ia lakukan akan sama saja dampaknya
c) Cognitive
Psikopat terjadi karena mengalami distorsi kognitif. Ia berfikir bahwa
ia dapat mendapatkan apa saja yang ia mau dengan melakukan apa saja yang
ia inginkan untuk membawanya kepada sesuatu yang ia inginkan tersebut
meskipun perilakunya membawa pengaruh atau efek buruk bagi orang lain.
d) Humanistic
Dalam teori humanistik, gangguan tersebut di sebabkan oleh terhambatnya
dan tidak tercapainya proses menuju aktualisasi diri yang sehat.
Seseorang yang menderita gangguan tidak terpenuhi
kebutuhan-kebutuhannya. Baik kebutuhan akan rasa aman dan kebutuhan akan
rasa cinta dan dicintai.
e) Interpersonal
Seseorang yang psikopat biasanya cuek pada norma-norma sosial, tak
peduli pada aturan, dan pemberontak. Kepribadiannya yang sulit ditebak,
bisa terlihat dari ketidakstabilannya dalam hubungan interpersonal,
citra diri, serta selalu bertindak menuruti kata hati. Tanpa peduli
perbuatannya itu salah atau benar, mengganggu orang atau tidak. Orang
seperti ini cenderung impulsif (melakukan sesuatu tanpa pikir panjang),
dan berpikiran negatif serta memiliki sifat pendendam.
2. DEPENDENT PERSONALITY DISORDER (GANGGUAN KEPRIBADIAN DEPENDEN)
Ciri utama dari gangguan kepribadian dependen adalah kurangnya rasa
percaya diri dan otonomi. Individu dengan gangguan kepribadian ini
memandang dirinya lemah dan orang lain lebih kuat. Ia juga memiliki
kebutuhan yang kuat untuk diperhatikan atau dijaga oleh orang lain yang
sering kali menyebabkan munculnya perasaan tidak nyaman ketika
sendirian. Ia mengesampingkan kebutuhannya sendiri untuk meyakinkan
bahwa ia tidak merusak hubungan yang telah terjalin dengan orang lain.
Ketika hubungan dekat berakhir, individu yang mengalami gangguan ini
segera berusaha menjalin hubungan lain untuk menggantikan hubungan yang
telah berakhir tersebut.
Kriteria dalam dsm pada umumnya mendeskripsikan individu yang mengalami
gangguan kepribadian dependen sebagai orang yang sangat pasif, misalnya
memiliki kesulitan dalam memulai sesuatu atau mengerjakan sesuatu
sendiri, tidak mampu menolak, dan meminta orang lain mengambil keputusan
untuk dirinya. Bagaimanapun juga, penelitian mengindikasikan bahwa
sifat-sifat pasif tersebut tidak mencegah individu melakukan hal-hal
penting untuk menjaga hubungan dekat, misalnya menjadi sangat penurut
dan pasif, tetapi dapat juga mengambil langkah aktif untuk menjaga
hubungan.
Prevalensi dari gangguan ini adalah sekitar 1,5 persen, lebih banyak
ditemukan di india dan jepang. Hal itu kemungkinan dikarenakan
lingkungan di kedua negara tersebut yang memicu perilaku dependen.
Gangguan kepribadian ini muncul lebih banyak pada wanita daripada pria,
kemungkinan karena perbedaan pengalaman sosialisasi pada masa
kanak-kanak antara wanita dan pria. Gangguan kepribadian dependen sering
kali muncul bersamaan dengan gangguan kepribadian borderline, skizoid,
histrionik, skizotipal, dan avoidant, sama seperti diagnosis axis i
gangguan bipolar, depresi, gangguan kecemasan, dan bulimia.
Perspektif Psikososial Mengenai Dependent Personality Disorder
a) Psikodinamik
Menurut teori psikodinamika, gangguan ini timbul karena adanya regresi
atau fiksasi pada masa oral perkembangan psikoseksual. Hal itu karena
orang tua yang sangat melindungi atau orang tua yang mengikuti apa yang
dibutuhkan penderita di masa kecil, atau menuntut perilaku dependen dari
penderita sebagai imbalan dari pengasuhan.
b) Behavioral
Millon dkk mengemukakan bahwa saat anak-anak, penderita gangguan ini
sangat baik tetapi penuh ketakutan. Mereka memiliki orang tua yang
hangat tetapi sangat melindungi (overprotective). Mereka tidak belajar
menangani rasa takutnya dan menjadi asertif, melainkan menjadi makin
taergantung pada orang lain. Jika anak-anak seperti ini memiliki saudara
yang agresif atau dengan teman-temannya mengalami suatu yang
menyababkan mereka merasa tidak menarik dan tidak adekuat, perasaan ragu
meningkat, dan perilaku dependen akan diperkuat oleh orang tua yang
sangat melindungi. Pendekatan kognitif-behavioral mengemukakan bahwa
penyebabnya adalah karena kurang asertif dan kecemasan dalam membuat
keputusan.
c) Cognitive
Individu dependen biasanya menggambarkan dirinya lemah, rentan, tidak
mampu, tidak cakap, atau tidak kompeten. Ketika ketidakmampuan mereka
menjadi terlalu jelas terlihat, rasa cemas dan panik mungkin muncul.
Untuk menjaga agar kerentanan mereka terkontrol, banyak individu
dependen lebih suka untuk tidak melihat diri mereka terlalu dalam, lebih
suka membatasi kesadaran mereka hanya pada kesenangan dalam hidup,
melihat hanya yang baik saja dan tidak pernah melihat yang buruk.
Sewaktu kesulitan diakui, individu dependen sering menyimpan harapan
bahwa pada akhirnya semua akan baik-baik saja. Penyangkalan, yang telah
dibahas dalam perspektif psikodinamis, secara bertahap berkembang
menjadi gaya kognitif yang lebih luas.
Skema diri (self-schema) dari individu dependen meliputi kualitas
positif dan negatif. Pada sisi positif, individu dependen melihat diri
mereka sebagai seseorang yang penuh pertimbangan, penuh perhatian, dan
bisa bekerja sama. Dengan mengingkari prestasi yang sah, mereka terlihat
sederhana dan rendah hati. Diam-diam, mereka mungkin mengharapkan
sanjungan dan pujian, tapi tidak terlalu berlebihan, karena harapan akan
kemandirian dan self-sufficientcy pasti akan mengikuti. Namun kualitas
baik yang individu dependen anggap ada pada diri mereka juga diimbangi
oleh sejumlah dasar patologis, kepercayaan kondisional dan instrumental
(Beck et al., 1990, hal. 45).
Banyak individu dependen yang sangat tidak canggih secara kognitif. Bagi
orang lain, mereka terlihat naif, kekanak-kanakan, dan polos –sebuah
gambaran yang sering mereka perkuat dengan meminimalkan prestasi dan
kemampuan diri mereka sendiri dan memperbesar ketidakmampuan
instrumental mereka. Pada individu yang tidak mampu, tuntutan yang
dibuat lebih sedikit. Karena orang lain selalu datang untuk membantu
mereka, maka individu dependen mungkin mengembangkan beberapa strategi
penanggulangan yang terpisah dari keahlian hidup dasar. Kadang-kadang,
hal tersebut juga tidak sempurna. Beberapa tidak bisa menyeimbangkan
neraca keuangan atau membutuhkan begitu banyak instruksi dan nasehat,
sehingga untuk mempertahankan pekerjaan dasar saja merupakan sesuatu
yang tidak mungkin. Individu dependen lain yang lebih dekat pada
jangkauan normal mungkin memiliki kompetensi meskipun terbatas pada
daerah tertentu saja, hal ini biasanya muncul dalam rangka melindungi
hubungan pengasuhan. Di sini, pendapat, “Saya harus belajar bagaimana
melakukan ini dan itu dengan baik jika saya ingin menikmati rasa aman
dan perlindungan dari hubungan ini,” berfungsi sebagai suatu kepercayaan
kondisional tambahan yang sangat adaptif. Individu tersebut melakukan
sesuatu untuk persetujuan orang lain dan akhirnya mungkin menjadi ahli
dalam suatu kerangka pikir yang mendukung, seperti halnya dengan istri
dependen yang lembur demi kemajuan tujuan karir suaminya.
Aspek kedua dari kognisi individu dependen adalah gaya kognitif mereka,
yang menampilkan pola pemikiran yang sangat mungkin untuk tetap
menyeluruh dan tersebar. Individu yang mawas diri secara terus menerus
mencari di dalam dirinya sendiri dan menciptakan ide yang pasti mengenai
siapa mereka sebenarnya, ingin menjadi apa mereka, dan apa yang mereka
inginkan dari hidupnya. Karena individu dependen jarang melihat ke dalam
dirinya, mereka hanya bisa mengembangkan ide yang samar mengenai tujuan
dan identitas diri mereka.
Sebagian besar individu dependen, yang kehidupannya diatur oleh figur
otoritas kompeten sejak masa bayi, tidak pernah mengembangkan potensi
untuk membuat penilaian kualitatif yang secanggih itu. Orang lain entah
menganggap individu dependen tidak mampu, atau secara alamiah
mengontrolnya sendiri dan mengambil keputusan, untuk setiap pertanyaan
hidup, hasil terbaik apa yang akan keluar dan bagaimana mencapainya.
Yang cara apapun, individu dependen berulang kali menemukan diri mereka
terkurung dalam sebuah dunia yang secara aktif mematahkan semangat
perkembangan kecanggihan kognitif. Kebutuhan mungkin bukan hanya
merupakan sumber dari penemuan, tapi juga sumber dari berbagai bakat
kognitif, khususnya kemampuan untuk menyusun rencana, untuk memegang
berbagai kemungkinan di dalam benak, untuk menentukan kriteria suatu
hasil yang baik bagi diri sendiri dan orang lain, dan untuk menilai
kemungkinan suatu tindakan yang direncanakan untuk berhasil. Kemampuan
kognitif canggih ini tidak pernah berkembang sepenuhnya pada individu
dependen, baginya semua kebutuhannya telah menjadi tanggung jawab orang
lain.
Namun hal tersebut tidak berarti bahwa kepribadian dependen selalu bodoh
atau tidak berpengetahuan. Sebagai contoh, dalam lingkungan sekolah,
dimana harapan konkrit akan nilai yang bagus akan mendapatkan
persetujuan, pujian, dan kasih sayang dari orang tua dan guru, banyak
dependen yang normal siap menaati dan menghasilkan rapor di atas
rata-rata. Beberapa bahkan menjadi anak kesayangan guru. Namun ketika
ditempatkan dalam konteks dimana evaluasi masa depan tidak terelakkan
dan serangkaian tindakan ambigu, bahkan dependen normal mungkin merasa
cemas atau tertekan. Mereka dengan gangguan yang terdiagnosa cenderung
melarikan diri atau menangis. Keseluruhan mereka yang kurang canggih
secara kognitif mencegah kemungkinan untuk mempertimbangkan semua
alternatif dan memperhitungkan rasio keuntungan-kerugian dari perspektif
tiap individu yang dipengaruhinya. Selain itu, ketakutan akan
mengecewakan orang lain yang mereka miliki mencegah mereka bahkan untuk
mencobanya. Sebagai gantinya, kunci dari kognisi individu dependen
terletak pada pembangunan dunia yang lebih sederhana tapi lebih bisa
diatur, walaupun mereka memiliki kekurangan dalam penilaian kompleks.
Secara kognitif, individu dependen membutuhkan kesederhanaan, seperti
halnya individu kompulsif membutuhkan dunia internal yang terkontrol dan
teratur.
Dalam Beck et al. (1990), Fleming menyatakan sejumlah distorsi kognitif
yang membuat gangguan tetap bertahan. Ada dua yang sepertinya penting:
Pertama, individu dependen melihat dirinya sebagai “secara alamiah tidak
mampu dan tidak berdaya”; kedua, kekurangan-kekurangan yang mereka rasa
ada pada dirinya (self-perceived shortcomings) mengarahkan mereka untuk
menyimpulkan bahwa mereka harus mencari seseorang yang bisa mengatasi
kesulitan hidup dalam dunia yang berbahaya. Hal tersebut sebenarnya
hanya merupakan pengulangan dari apa yang telah mereka pelajari. Namun
antara premis dan kesimpulan terdapat beberapa kesalahan logis yang
menyimpangkan kenyataan (Fleming, 1990) dan kemudian membatalkan semua
argumen. Yang paling penting dari hal tersebut adalah pemikiran
dikotomus, suatu gaya pemikiran yang membagi dunia menjadi kutub yang
saling bertolak belakang, tanpa terdapat daerah abu-abu di antara
keduanya. Jika individu dependen tidak diperhatikan, mereka melihat diri
mereka sendiri sebagai seseorang yang benar-benar sendirian di dunia
ini. Dengan cara yang sama, jika mereka sama sekali tidak yakin
bagaimana melakukan sesuatu, tentunya masalah tersebut pasti tidak dapat
teratasi, paling tidak bagi mereka.Pemikiran dikotomus tidak dapat
dihindari mengarah pada distorsi ketiga: individu dependen cenderung
untuk menganggap sesuatu sebagai malapetaka.
d) Interpersonal
Setelah menikah, orang dengan gangguan kepribadian dependen akan
bergantung pada pasangannya untuk membuat keputusan seperti dimana
mereka akan tinggal, tetangga mana yang bisa dijadikan teman, bagaimana
mereka harus mendisiplinkan anak, pekerjaan seperti apa yang akan mereka
ambil, bagaimana mereka membuat anggaran rumah tangga, dan kemana
mereka sebaiknya berlibur. Individu dengan gangguan ini biasanya
menghindari diri dari tanggung jawab. Mereka menolak tantangan dan
promosi, serta bekerja di bawah potensi mereka. Mereka cenderung sangat
sensitive terhadap kritikan, sangat terpaku pada rasa takut akan
penolakan dan pencampakan. Mereka dapat meresa hancur karena berakhirnya
suatu hubungan dekat atau karena adanya kemungkinan untuk menjalani
hidup sendiri. Karena takut akan penolakan, mereka sering menomorduakan
keinginan dan kebutuhan mereka demi orang lain. Mereka setuju akan
pernyataan yang aneh tentang diri mereka sendiri, dan melakukan hal-hal
yang merendahkan diri untuk menyenangkan orang lain.
3. OBSESSIVE-COMPULSIVE PERSONALITY DISORDER (GANGGUAN KEPRIBADIAN OBSESIF-KOMPULSIF)
Individu dengan obsessive-compulsive personality bersifat perfeksionis,
sangat memperhatikan detail, aturan, jadwal, dan sebagainya. Individu
yang mengalami gangguan obsesif-kompulsif sangat memperhatikan detail
sehingga kadang ia tidak dapat menyelesaikan hal yang dikerjakannya. Ia
lebih berorientasi pada pekerjaan daripada bersantai-santai dan sangat
sulit mengambil keputusan karena takut membuat kesalahan. Selain itu, ia
juga sangat sulit mengalokasikan waktu karena terlalu memfokuskan diri
pada hal-hal yang tidak seharusnya. Biasanya ia memiliki hubungan
interpersonal yang kurang baik karena keras kepala dan meminta segala
sesuatu dilakukan sesuai dengan keinginannya. Istilah yang umum
digunakan sebagai julukan bagi individu seperti itu adalah “control
freak”. Individu dengan gangguan kepribadian ini pada umumnya bersifat
serius, kaku, formal dan tidak fleksibel, terutama berkaitan dengan
isu-isu moral. Ia tidak mampu membuang objek yang tidak berguna,
walaupun objek tersebut tidak bernilai. Di samping itu, ia juga pelit
atau kikir.
Berdasarkan dsm-iv-tr, kriteria dependent personality disorder yaitu sebagai berikut:
• Sangat perhatian terhadap aturan dan detail secara berlebihan sehingga poin penting dari aktivitas hilang.
• Perfeksionisme yang ekstrem pada tingkat di mana pekerjaan jarang terselesaikan.
• Ketaatan yang berlebihan terhadap pekerjaan sehingga mengesampingkan waktu senggang dan persahabatan.
• Kekakuan dalam hal moral.
• Kesulitan dalam membuang barang-barang yang tidak berguna.
• Tidak ingin mendelegasikan pekerjaan kecuali orang lain megacu pada satu standar yang sama dengannya.
• Kikir atau pelit.
• Kaku dan keras kepala.
Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif agak berbeda dengan gangguan
obsesif kompulsif. Pada gangguan kepribadian obsesif-kompulsif, tidak
terdapat obsesi dan kompulsi seperti pada gangguan obsesif-kompulsif.
Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif paling sering muncul bersamaan
dengan gangguan kepribadian avoidant dan memiliki prevalensi sekitar 2
persen.
Perspektif Psikososial Mengenai Obsessive-Compulsive Personality Disorder
a) Psikodinamik
Menurut Freud, perkembangan manusia terjadi melalui beragam tahapan
psikoseksual. Masing-masing, wilayah badan tertentu menjadi zona yang
erogenous, fokus energi libidinal selama periode tertentu itu.
Seksualitas diterima sebagai kekuatan instingtif yang biasanya
diabaikan. Bagi banyak orang, kemajuan melalui tahapan psikoseksual
tidaklah begitu memukau. Beberapa individu mengalami frustasi eksesif
atau kegemaran eksesif, muncul dalam penyesuaian energi seksual atas
tahap tertentu, sehingga mewarnai keseluruhan kepribadian. Sepanjang
tahap oral, energi seksual terfokus pada mulut. Gratifikasi kebutuhan
oral yang eksesif dipercaya mengarah pada perkembangan karakter oral,
ekuivalen psikodinamik dari kepribadian dependen kontemporer.
Begitu anak-anak beranjak balita, mereka meninggalkan tahap oral dan
memasuki periode pelatihan toilet, tahap anal, dimulai pada usia 18
bulan. Seperti freud catat (1908), bila tahap oral menghisap air susu
ibu, refleks bawaan semua bayi, maka tahap anal mengawali periode
erotisisme anal yang tidak hanya menampakkan apa yang kelihatan.
Khususnya, tahap anal memerlukan kontrol diri, penundaan gratifikasi
instingtif yang mengiringi pembuangan feses. Dorongan penuh hasrat dari
id mengarahkan secara langsung keinginan pada orangtua, sehingga tahap
anal memainkan peran penting dalam pembentukan superego dan kontrol
impuls agresif.
Pengaruh pasti tahap anal atas perkembangan kepribadian tergantung pada
perilaku yang dilakukan orangtua ketika melakukan pelatihan toilet.
Perilaku yang kaku, tergesa-gesa, dan terlalu menuntut dapat memunculkan
ciri-ciri anal-retrentif, imbangan karakter logik dari kepribadian
kompulsif. Pada dasarnya, anak-anak menanggapi orangtua dengan mundur
dan menolak melakukan, mengarah pada ciri-ciri dewasa seperti
kekeras-kepalaan, kekakuan, dan kemarahan tersembunyi. Tipe-tipe
anal-retentif juga dipercayai selalu tepat waktu, teratur, teliti, dan
dikelilingi kebersihan, ciri-ciri utama yang mengarahkan orangtua mereka
agar patuh jadwal, dengan segalanya pada tempatnya, tanpa berantakan.
Alternatifnya, anak-anak mungkin menanggapi dengan menjadi tipe
anal-ekspulsif. Di sini, anak-anak menjadi ofensif; feses menjadi
senjata. Strategi anal-retentif sepenuhnya merupakan penolakan, kini
strategi berubah menjadi perusakan keinginan mereka secara aktif, hasrat
yang membuat orang lain menyesali karena mereka pernah menguasainya.
Biasanya, ciri-ciri kedewasaan merupakan kebalikan dari tipe
anal-retentif dan mencakup kerusakan, penyimpangan dan kekejaman
sadistis.
Seiring psikoanalisis mulai mengembangkan relasi ego psikologi dan
obyek, konsepsi karaker anal pun diperluas. W. Reich (1933) mengemukakan
sang kompulsif sebagai yang dikelilingi dengan ‘aturan pedantik’,
sebagai makhluk hidup menurut pola yang disesuaikan namun juga cenderung
risau dan cemas. Mungkin lebih penting, w. Reich (1949) menganggap sang
kompulsif sebagai yang diterimas secara emosional, tidak menampakkan
cinta dan afeksi, karakteristik yang dia sebut ‘blok afek’.
Kita telah melihat bahwa kompulsif, secara tersirat meminta aturan,
rincian, dan kesempurnaan sebagai seperangkat peniruan dengan apa yang
tidak dapat diduga atau tidak pasti di dunia sekitar mereka. Namun itu
bukanlah batas persyaratan ini; sang kompulsif meminta rasa aman yang
sama dari dunia internal mereka. Pada sembarang waktu, pengujian kecil
sendiri menunjukkan bahwa banyak dari kita yang mendidih karena perasaan
bertikai yang menarik kita dan mencegah penilaian hitam-putih, bahkan
pada situasi sederhana sekalipun. Anda mengikuti suatu kelas dan walau
instrukturnya hebat, beban kerja lebih sesuai di kelas lain dan
menyebabkan anda marah dan menyesal. Anda mengikuti kelas, walau beban
kerjanya mudah, anda bisa saja dapat substansi lebih karena bayaran
anda. Anda mencintai ibu anda, namun dia mengejek anda; lalu, ketika dia
mengurus anda walau sebentar, anda penasaran apakah dia masih mencintai
anda. Isu-isunya mungkin berbeda, namun setiap orang terjebak di
teka-teki kata semacam itu. Banyak di antara kita hanya mengakui kedua
sisi koin dan menoleransi kompleksitas hidup. Tidak ada yang semuanya
jahat atau semuanya baik.
Bagi sang kompulsif, perasaan berlawanan dan disposisi semacam itu
menciptakan perasaan marah yang intens, ketidakpastian, dan
ketidakamanan yang harus tetap diikat. Untuk melakukan hal tersebut,
mereka memakai semua strategi bertahan, lebih dari pola kepribadian
lainnya. Riset berpendapat bahwa yang pertama, dan mungkin yang paling
menentukan, adalah pembentukan reaksi (berman & mccann, 1995). Di
sini, sang kompulsif membalikkan dorongan kecerobohan dan pemberontakan
yang terlarang untuk mengkompromikan ideal ego yang kaku dan tinggi.
Contohnya, ketika berhadapan dengan situasi yang menimbulkan kecemasan
banyak orang, sang kompulsif menghargai diri mereka sendiri ketika
menampilkan kedewasaan dan kemasukakalan, seperti yang efeknya, sang
kompulsif secara simbolik membersihkan diri mereka sendiri dari
kekotoran dan kehinaan dengan mengembangkan apa yang bertentangan secara
diametral.
Kedua, sang kompulsif sering memindahkan kemarahan dan ketidakamanan
dengan mencari beberapa posisi kekuasaan yang memperbolehkan mereka
untuk menjadi superego yang dijatuhi sanksi secara sosial untuk yang
lainnya. Di sini, sang kompulsif mengeluarkan kemarahan mereka dengan
membuat yang lainnya mematuhi standar yang tidak mampu bekerja secara
terinci atau kaku. Mereka yang rendah kedudukannya maka harus mengakui
otoritas dan pengetahuan atasan yang kompulsif atau menjatuhkan korban
ke penghakiman menyeluruh yang mensegel kebahagiaan bijak dan sadistis
di belakang topeng kedewasaan. Hukuman menjadi tugas; humanitarianisme,
kegagalan. Ayah yang kelewat moralis dan ibu yang kelewat menguasai
menyediakan contoh permusuhan kamuflase. Di samping usaha kontrol
mereka, riset menunjukkan bahwa ciri-ciri kompulsif erat kaitannya
dengan agresi impulsif (stein, trestman, mitropoulou, & coccaro,
1996).
Mekanisme pertahanan lainnya yang dipakai sang kompulsif, isolasi afek,
menghubungkan domain psikodinamik dan kognitif, setidaknya bagi
kepribadian macam ini. Permintaan yang sama akan aturan dan kesempurnaan
yang sang kompulsif minta kepada lingkungan mereka, mereka meminta
lanskap mental mereka sendiri. Untuk menjaga impuls dan perasaan
oposisional dari memengaruhi satu sama lain dan memegang citra-citra
ambivalen dan perilaku berlawanan dari pembuangan menjadi kepedulian
sadar, mereka mengatur dunia dalam mereka menjadi kompartemen kaku, dan
ketat. Efeknya, sang kompulsif berusaha mencekik insting, gairah, dan
emosi dengan menghancurkan pengalaman sehingga lebih mudah dibicarakan
daripada dirasakan. Bagi orang normal, kenangan bukan hanya mekanisme
mengingat kembali, namun juga serangkaian pemutaran kembali episode dari
hidup kita untuk mengingat kembali keutuhan pengalaman asli, dengan
semua emosi dan sensasi yang mengiringinya. Walau beberapa di antaranya
menakutkan dan yang lainnya dihargai, semua kita punya kenangan seperti
itu sehingga kita seringkali ke sana.
Sang kompulsif berbeda. Isi mental mereka menyerupai tempat penyimpanan
yang diatur dalam jumlah besar dari fakta yang diciutkan atau
dikeringkan, yang masing-masing ditunjukkan namun tetap terpisah dari
yang lainnya. Efeknya, tujuan mereka berlawanan dengan dengan sajak.
Oleh karena sajak membubuhi pengalaman dengan menyediakan jaringan
simbolik dan metaforis dengan pengalaman terkait, sang kompulsif
berusaha mendapatkan setiap aspek pengalaman di kompartemen kecilnya.
Mereka mengumpulkan kenangan mereka dan hanya melakukan asosiasi
intelektual di antara mereka. Dengan mencegah interaksi mereka, sang
kompulsif memastikan bahwa tidak ada satu pun fase pengalaman yang mampu
mengkatalis apapun sehingga mampu menghasilkan emosi yang tidak
terantisipasi atau menggerakkan kedalaman yang signifikan. Akibatnya,
banyak kompulsif melihat penjajakan diri itu percuma saja. Psikoterapi
mungkin dilihat terlalu banyak sains halus untuk menjamin waktu atau
perhatian mereka. Bagi para kompulsif, isolasi afeksi dan struktur
mental secara tertutup saling memberdayakan.
Konsepsi modern kepribadian kompulsif diletakkan berhadapan dengan
kerangka relasi-obyek. Seperti telah dicatat, perkembangan psikodinamik
dari kepribadian kompulsif erat terkait dengan tahap anal. Freud
menekankan frustasi dan perasaan energi psikoseksual yang mendalam.
Pemikir psikodinamik belakangan menafsirkan kembali tahapan psikoseksual
dalam istilah relasi-obyek, memusatkan peranan pengawas, bukan perasaan
mendalam energi kejiwaan. Konflik mendasar terjadi antara hasrat
orangtua ikut campur dan mengontrol, serta rasa otonomi anak yang
bertumbuh. Pelatihan toilet lalu hanya merupakan bagian kecil interaksi
total antara orangtua dan anak, serta adalah di luar interaksi total ini
personalitas itu tumbuh.
Pada saat mereka mencapai kedewasaan mereka, sang kompulsif masa depan
telah penuh menghayati keketatan dan regulasi orangtua mereka. Hingga
kini, mereka dilengkapi dengan ukuran dalam yang secara kasar menilai
dan mengawasi mereka, tanpa iba menyusup untuk meragukan mereka dan
ragu-ragu sebelum beraksi. Sumber daya tantangan eksternal telah
digantikan dengan kontrol pendekatan diri internal yang ketat. Sang
kompulsif kini menjadi jaksa dan hakim mereka sendiri, siap mengutuk
diri mereka sendiri tidak hanya karena banyak lagak namun juga karena
pemikiran transgresi. Dengan menekankan perasaan bersalah, anak-anak
mendapatkan suara kritis nurani yang siap memarahi bahkan ketika
pengasuh secara fisik absen atau bahkan mati. Unsur keagamaan sering
memainkan peranan penting. Beberapa di antaranya mengatakan konsekuensi
menakutkan dari dosa; yang lainnya mengatakan bagaimana sulitnya atau
malunya orangtua mereka jika mereka menyimpang dari ‘jalan lurus’.
Kadang-kadang, mereka mengubah rasa moralitas mereka menjadi rasa
superioritas moral, dan memakainya untuk mengisi bahan bakar kemarahan
yang mengesampingkan ekspresi kemarahan dan fokus padanya atas tujuan
yang sesuai.
b) Behavioral
Individu dengan tipe ini, kemungkinan saat kecil dididik untuk selalu
mematuhi peraturan figur otoritas, dituntut untuk selalu benar dalam
berbagai hal, dihukum karena tidak bisa tampil sempurna, tidak diberi
reward setelah melakukan kesuksesan. Selain itu, bisa juga karena
melihat saudaranya dihukum karena tidak sempurna, mereka sering diberi
tanggung jawab atas hal yang tidak mereka ketahui atau tidak mereka
kuasai, dicap sebagai anak yang buruk (dalam hal sikap). Orang dengan
gangguan obsesif-kompulsif dapat bekerja dengan baik dalam posisi yang
membutuhkan pekerjaan metodologis, deduktif atau terperinci. Tetapi
mereka rentan terhadap perubahan yang tidak diharapkan. Dilihat dari
teori kognitif-behavioral, pasien gangguan ini mempunyai perhatian yang
tidak realistik mengenai perfeksitas dan penolakan terhadap kesalahan.
Kalau gagal dalam mencapai perfeksitas, ia menganggap dirinya tidak
berharga (Martaniah, 1999 : 79).
c) Cognitive
Ciri-ciri kognitif yang kuat dari kepribadian kompulsif dikenali dan
ditulis teoris analitik jauh sebelum perspektif kognitif menjadi tenar.
Adapun kajian pengolahan-informasi kontemporer peduli dengan pencatatan
arsitektur dan proses kognisi, kajian analitik lebih peduli dengan gaya
kognitif dan hubungan erat antara karakter dan kognisi. W. Reich (1933,
h. 211) menilai sang kompulsif sebagai bimbang dan ragu.
Teoris psikoanalitik lainnya mencatat ketidaktoleransian. Sang kompulsif
memperlakukan isi mental mereka selayaknya mereka memperlakukan kerja
mereka,. Mereka gemar memiliki barang-barang yang konkrit; semuanya
harus sesuai dengan beberapa sistem klasifikasi; semuanya yang sulit
diatur menjadi sumber kecemasan atau sasaran kutukan. Mencandui konsep
klasik tentang karakter anal, rado (1959: 326) menggambarkan orang ini
sebagai konkrit, berorientasi pada fakta, dan mengutuk keragaman dan
imajinasi. Ciri-ciri kognitif seperti itu mungkin bisa dilacak ke
belakang pada lingkungan keluarga. Ketika orangtua anda begitu keji,
mudah menghukum, dan merasa benar sendiri, anda biasanya lebih menyukai
hal kongkrit karena lebih mudah menilai dan menghindari masalah,
terutama jika kamu adalah anak-anak dan tanpa unsur kognitif dewasa.
Segalanya yang berada pada sisi terjauh dari perhatian kepribadian
kompulsif berpotensi diangkut secara langsung menuju pusat kesadaran dan
meletakkan di bawah kehebatan orang. Para individu ini tidak hanya
tidak mampu memahami ‘gambaran besar’ namun juga tidak mampu merasakan
keseluruhan nada emosional dari situasi impersonal, menyumbang pada
impresi kepribadian bahwa mereka kaku atau dingin. Oleh karena kompulsif
fokus pada rincian di dalam komunikasi dan gagal utuh menilai atmosfer
interpersonal, mereka tidak bisa bersantai atau spontan atau empatik.
Shapiro juga menghubungkan level perhatian kompulsif pada kekurangan
intuisi mereka, tidak ada bahwa mereka jarang berfirasat. Akhirnya, sang
kompulsif keras melawan apresiasi estetik dari sastra atau seni. Level
perhatian kerja di dalam konjungsinya dengan pertahanan isolasi
emosional, contohnya, membuat mereka merasa masa bodoh atas tragedi atau
drama manusia lainnya. Kalau saja elsa bisa menilai atmosfer ruang
kelas mereka, dia akan menanggapi umpan balik murid dan tidak akan duduk
di pusat bimbingan.
Faktanya, tidak peka akan ketidakpekaan mereka pada nuansa emosional,
sang kompulsif gagal menyadari bahwa kehidupan emosional orang lain jauh
lebih kaya daripada dirinya sendiri. Banyak orang akan iba pada imersi
sang kompulsif yang asing terhadap kesegeraan akan perasaan yang
benar-benar hidup, banyak kompulsif tidak mampu memandang-ke-dalam
pemiskinan kehidupan mereka. Sebaliknya, mereka membersihkan dan
men-dehumanisasi keberadaan mereka dengan mengatur pemikiran mereka
secara kaku sesuai dengan aturan dan regulasi konvensional, jadwal
formal, dan hierarki sosial. Beberapa di antaranya melakukan hal seperti
itu dengan sikap merendahkan diri dan hina, menganggap orang lain tidak
teratur, tidak efisien, dan primitif. Tipe-tipe seperti itu muncul di
pengaturan birokratis, di mana hasrat mereka akan spesifisitas dan
rincian bisa dipakai sebagai senjata melawan siapa saja yang menghalangi
mereka, mereka pun diacuhkan, atau agak terlalu tega. Dengan merumitkan
hidup orang lain, sang kompulsif membendung kemarahan bagian dalam
mereka seraya membenarkan perilaku mereka sesuai aturan keorganisasian.
Para kompulsif lain nampaknya sesuai untuk mengatur dan merinci hampir
semua sebagai pertahanan kognitif melawan ketidakpastian dan kemenduaan.
Tidak seperti varietas sadistik sebelumnya, mereka lebih tunduk dan
takut akan kemurkaan, memiliki kebutuhan yang intens agar pasti.
Perilaku kompulsif seperti itu begitu takut berbuat salah, melarang diri
mereka sendiri pada situasi yang akrab dan intim. Mereka menghindari
hal berbahaya dengan mempertahankan pendekatan hidup yang ketat dan
teratur. Rutinitas yang sama memperbolehkan mereka bermain aman namun
mencegah mereka dari pengembangan persepsi atau pendekatan baru
penyelesaian masalah.
Individu seperti itu biasanya bimbang, terus menerus mencari sumber
informasi, saran, dan opini otoritatif sebelum memutuskan. Sering,
pencarian mereka meninggalkan penilaian mereka dilimpahi ratusan rincian
yang mereka rasakan tidak mampu menggabungkan secara konklusif.
Selamanya terteror dan tertekan, mereka mungkin terperosok di dalam
suatu kelumpuhan analisa yang sama sekali mencegah mereka mengambil
keputusan. Efeknya, mereka terperangkap di dalam lingkaran setan
pengolahan-informasi: makin banyak rincian yang mereka kumpulkan, makin
banyak fakta yang gagal dipahami atas suatu kajian aksi tertentu atau
konklusi, dan kecemasan mereka pun meningkat. Solusinya adalah
menggandakan kembali usaha mereka dan mengumpulkan lebih banyak rincian.
Sebaliknya, perintah moral yang memerintah pengalaman mereka
diberdayakan dan diatur beberapa kesalahan kognitif kunci (beck, et.al.,
1990). Mungkin, sang kompulsif memandang dunia secara hitam-putih.
Pernyataan ‘mesti’ mereka menetapkan kemutlakan tidak layak di dalam
situasi tertentu, kemampuan personal, atau ketersediaan sumber daya.
Sebaliknya, sang kompulsif diperintah komandemen yang disarikan dari
superego yang mahakuat: “anda tidak akan pernah gagal. Anda akan selalu
terkontrol. Anda tidak terjebak kesalahan, sekecil apapun,” dll.
Mempertimbangkan dikotomi mereka, pandangan moralistik akan dunia,
tidaklah mengejutkan bahwa konsekuensi menyakiti satu komandemen ini
saja adalah kotor, bahkan bencana. Sang kompulsif tidak bisa melakukan
apa yang mereka inginkan; mereka harus melakukan apa yang semestinya, di
setiap kasus. Hasilnya, hidup memang hanya punya sedikit potensi untuk
sedikit kebahagiaan dan amat berpotensi untuk cemas. Banyak dari
kehidupan sang kompulsif terbuang di masa lalu dan di masa depan, hilang
pemahaman atas apa yang mesti mereka lakukan kepada orang tertentu atau
situasi, atau apa yang telah mereka lakukan akan menghilang.
Kadang-kadang kungkungan keinginan mereka bisa membuat mereka nampak
tidak menarik. Hanya kadang-kadang mereka berpusat di saat sekarang,
rumah bagi mereka yang gembira dan keakraban hidup.
d) Interpersonal
Kita bisa simpulkan bahwa sang kompulsif begitu mengekang interaksi
interpersonal mereka. Orang normal mampu melakukan spontanitas, sang
kompulsif secara aktif mengawasi tingkah laku dan pesan mereka sendiri.
Komunikasi mereka mungkin nampaknya didahului kekakuan kartu pencatatan,
mungkin dengan sedikit melihat ini: pertama, memformulasikan rencana
interpersonal. Kedua, memeriksa rencana secara teliti demi menghindari
pemborosan dalam ketepatan dan kematangan, mengadopsi permulaan yang
rendah untuk menghilangkan kemungkinan perilaku sehingga dapat
melenyapkan segala kemungkinan penghinaan atau ketidakmampuan. Ketiga,
memformulasikan perilaku yang baru jika perlu, dan memeriksa sebelumnya.
Keempat, memerankan perilaku terpilih, mengukur reaksi orang lain, dan
kembali ke langkah pertama. Kekakuan meningkat ketika partisipan lain di
dalam transaksi punya tingkat atau status tertentu yang meluas yaitu
sang kompulsif sehingga pentingnya penyensoran kesalahan pun meningkat.
Proses kompulsif interpersonal mensyaratkan bahwa mereka
menginvestasikan banyak waktu dan energi untuknya. Untuk alasan ini,
sang kompulsif sering dilihat orang lain begitu kaku, muram, atau bahkan
cemberut. Walau mereka amat sopan, ini mengalir dari hasrat mereka
untuk mengikuti kesepakatan sosial, bukan dari keinginan terdalam.
Postur dan gerak mereka mungkin nampak ketat dan terkontrol. Kata-kata
mereka cermat dipilih agar akurat dan obyektif. Apapun topik percakapan,
sang kompulsif lebih suka tetap mempertahankan jarak dan impersonal,
merendahkan penilaian subyektif atau opini demi menerima kecerdasan atau
formulasi abstrak yang tidak mengungkapkan apapun bagi mereka sendiri.
Mereka mungkin bicara dengan tata cara yang impersonal dan jumawa
daripada memahamkan komentar mereka, menaikkannya sampai ke level
peraturan. Contohnya, seorang kompulsif mungkin berkata, “seorang
seringkali menemukan dalam hidup bahwa pengalaman salah satu guru
terbaik,” bukan berkata, “anda membuat kesalahan, pelajari apa yang anda
bisa, dan selanjutnya.” Untuk alasan ini, impresi interpersonal mereka
adalah salah satu dari kesopanan, formalitas, dan kekangan.
Dinamika kepribadian kompulsif bagian dalam terutama dibuat jelas ketika
membedakan arahan interpersonal mereka dengan atasan dan bawahan.
Memberikan kesadaran dan keasyikan mereka dengan rincian, efisiensi, dan
kesempurnaan, sang kompulsif membuat baik ‘pria dan perempuan
organisasi,’ mengadopsi kebutuhan dan tujuan bisnis sesuai keinginannya
sendiri, nyaris menjadi bagian dari superego mereka sendiri. Mayoritas
berhubungan dengan orang lain berdasarkan tingkat atau status. Mereka
menyanjung, bahkan memuja, atasan mereka, namun otoriter atau tiran
terhadap bawahan. Dengan mempersekutukan diri mereka sendiri dengan
orang lain yang berkuasa, sang kompulsif menikmati serangkaian
perlindungan dan secara tidak langsung mendapatkan mantel kekuatan dan
penghormatan. Pada waktu bersamaan, mereka memakai posisi kekuasaan
mereka untuk menyebarkan ketakutan kepada bawahan mereka, ketakutan sama
yang mereka alami sendiri ketika ‘dipanggil di atas karpet’ di hadapan
orang lain yang lebih berkuasa. Untuk mengekang permusuhan tertekan
mereka, sang kompulsif mungkin mengantagoniskan pekerja mereka dengan
peraturan, regulasi, tata cara, dan konformitas sesuai dengan deskripsi
kerja.
4. PASSIVE AGGRESSIVE DISORDER (NEGATIVISTIC)
4. PASSIVE AGGRESSIVE DISORDER (NEGATIVISTIC)
Terdapat dua konsep utama dalam gangguan ini Gangguan Kepribadian
Pasif-Agresif kondisi kroni di mana seseorang tampaknya secara aktif
sesuai dengan keinginan dan kebutuhan orang lain, tetapi sebenarnya
secara pasif melawan mereka. Dalam proses, orang menjadi semakin
bermusuhan dan marah. Orang dengan gangguan kepribadian pasif-agresif
ditandai oleh obstruksionisme (senang menghalang-halangi),
menunda-nunda, sikap keras kepala dan tidak efisien. Perilaku tersebut
adalah manifestasi dari agresi yang mendasari, yang diekspresikan secara
pasif. Pasien gangguan kepribadian pasif-agresif secara karakteristik
adalah suka menunda-nunda, tidak menerima permintaan untuk kinerja yang
optimal, tidak bersedia meminta maaf, dan cenderung untuk mencari
kesalahan pada diri orang lain walaupun pada orang tempat mereka
bergantung; tetapi mereka menolak untuk melepaskan mereka sendiri dari
hubungan ketergantungan. Mereka biasanya tidak memiliki ketegasan
tentang kebutuhan dan harapan mereka. Orang dengan gangguan ini tidak
memiliki kepercayaan pada diri sendiri dan biasanya pesimistik akan masa
depan.
Mereka memendam rasa amarah dan permusuhan yang diekspresikan dengan
cara tidak langsung tapi menggunakan cara yang menyakitkan. Tidak
sensitif terhadap kritik dan selalu menganggap dirinya benar. Dari sudut
kognitif-behavioral, pasif-agresif berkembang dari kepercayaan bahwa
ekspresi terbuka dan kemarahan adalah berbahaya. Menuntut orang lain
harus tahu apa yang diinginkan, tanpa ia memintanya.
Orang dengan kelainan ini membenci tanggung jawab yang ditunjukkan
melalui perilaku mereka, daripada oleh secara terbuka mengungkapkan
perasaan mereka. Mereka sering menggunakan penundaan, inefisiensi, dan
lupa untuk menghindari melakukan apa yang mereka perlu lakukan atau
telah diberitahu oleh orang lain untuk melakukannya.
Perspektif Psikososial Mengenai Passive Aggressive Disorder
a. Psikoanalisa
Gambaran psychoddinamic dari orang pasif-agresif dapat ditelusuri dari tahap pemuasan oral, dimana basic trust dibangun.
b. Behavior
Individu dengan gangguan ini seringnya dibesarkan di keluarga dengan
pola asuh yang tidak konsisten dan pelatihan yang bertolak belakang
(ucapan dan perbuatan orang tua tidak seimabang, contoh:: melarang anak
merokok padahal dirinya sendiri merokok di depan anak). Hal ini membuat
orang pasif-agresif tidak dapat mempercayai lingkungannya.
c. Cognitive
Secara kognitif, orang pasif-agresif selalu berpikir curiga dan sinis, sangat kaku, dan selalu berpikir hitam-putih.
d. Interpersonal
Secara interpersonal, orang dengan tipe ini seringnya sangat focus pada
pemberian reward dan sangat cemburu bila terdapat ketidak adilan dalam
pembagiannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar